Kamis, 08 September 2011

Hukum pernikahan dan tata caranya

Mengenai hukum nikah para ulama beselisih pendapat. Madzhab Zahiriyah, segelintir ulama Syafi'iyah dan satu riwayat yang bersumber dari Ahmad bin Hanbal mengatakan kalau nikah itu hukumnya wajib, dalil mereka antara lain firman Allah Swt:

وانكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإماءكم, إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله, والله واسع عليم( النور 32)

Dan kawinkanlah orang-orang yang masih sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dan juga:

فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع, فإن خفتم ألا تعتدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم, ذالك أدنى ألا تعولوا
(النساء 3)

Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Mereka juga Mereka berdalil dengan Hadits Nabi Saw:

رواه البخارى و مسلم رحمهما الله تعالى بسندهما إلى عبد الله بن مسعود رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "يا معشر الشباب, من استطاع منكم الباءة فليتزوج, فإنه أغض للبصر, و أحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء" (رواه البخارى فى كتاب النكاح باب من لم يستطع الباءة فليصم, ورواه مسلم فى كتاب باب استحباب النكاح إذا تاقت نفسه إليه ووجد مؤنه)

"Wahai sekalian pemuda! Barang siapa di antara kalian yang sudah sanggup berkeluarga maka hendaklah ia menikah, karna hal itu lebih menjaga pandangan, dan memelihara syahwat (kemaluan), dan sipa yang belum sanggup (menikah), maka hendaklah ia berpuasa karna itu meredakan (syahwat)."

Akan tetapi Imam Nawawi, salah satu ulama Syafi'yah mengatakan: mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah hadits di atas adalah perintah sunat bukan perintah wajib. Perintah hadits di atas adalah suruhan untuk menikah bagi yang ingin dan sanggup menikah, dan itu pun menurut pendapat madzhab kita (Syafi'i) bukan perintah wajib. Maka nikah atau menggauli hamba perempuan itu tidak wajib, walaupun karena takut jatuh kepada dosa. Seperti ini mayoritas pendapat semua madzhab, tidak ada satu madzhab yang mewajibkan nikah kecuali Daud Az-zhahiry (Pendiri madzhab Zhahiriyah) dan satu riwayat yang bersumber dari Ahmad bin Hanbal, mereka mengatakan bahwa siapa yang takut terjerumus kepada dosa maka ia wajib menikah atau menggauli hambanya. Bahkan sebagian mereka mengatakan walaupun bukan karna takut dosa nikah itu tetap wajib hukumnya.

Imam ibnu Hazm dari ulama Zhahiriyah mengatakan, "bagi orang yang sanggup berhubungan suami isteri, maka wajib baginya menikah atau menggauli hamba, jika ia tidak mampu maka ia mesti banyak berpuasa."

Imam Al-Mazriy dari madzhab Maliki mengatakan, "Nikah itu sunat, tetapi terkadang ia jadi wajib apabila takut jatuh kepada zina."

Imam Al-Qurtubiy mengatakan, "Orang yang sanggup menikah dan takut terjerumus kepada zina, tidak diperselisihkan lagi tentang wajibnya nikah padanya."

Banyak sekali pernyataan ulama dalam masalah ini, lebih netralnya adalah pendapat yang diambil Imam Ibnu Hajar (ulama Syafi'iyah) dari perkataan Ibnu Daqiq Al-'Id (ulama Syafi'iyah) yang mengatakan: “Sebahagian ulama mengatakan bahwa nikah itu mencakup hukum yang lima; Wajib bagi orang yang takut terjerumus kepada dosa, sedangkan ia mampu untuk menikah. Haram bagi orang yang tidak mampu bersetubuh dan tidak punya material juga ia tidak selera untuk nikah. Makruh bagi orang yang tidak merasa apa-apa walaupun tidak menikah, atau bahkan kalu ia menikah ia akan semakin jauh dari agama. Sunat bagi orang yang mampu dan berniat untuk menyalurkan syahwat di jalan yang benar (niat 'iffatunnafsi) dan memperoleh keturunan. Dan Mubah (boleh) bagi orang yang selain keadaan yang di atas semuanya.

Sebenarnya, mayoritas ulama memang mengatakan bahwa nikah itu hukumnya tidak wajib, tapi madzhab yang empat sependapat di suatu kondisi jika hukum nikah itu bisa menjadi wajib.

Madzhab Maliki berpendapat: nikah itu wajib apabila seseorang takut terjerumus kepada zina dan tidak mampu membeli hamba perempuan untuk menyalurkan syahwatnya, sementara ia tidak sanggup berpuasa, atau ia sanggup tapi puasa itu sudah tidak mampu membendung hasratnya.

Madzhab Hanafi berpendapat: nikah itu jadi wajib kalau memenuhi empat syarat:
1. benar-benar yakin akan terjerumus kepada zina, kalau masih sekedar takut terjerumus, belum diwajibkan.
2. benar-benar tidak sanggup berpuasa sebagai inisiatif lain mengatasi gejolak nafsu.
3. tidak sanggup membeli hamba sahaya perempuan sebagai inisiatif lain buat menyalurkan syahwat.
4. mampu memberikan mahar dari harta yang halal.

Madzhab Syafi'i berpendapat: sebenarnya pada dasarnya nikah itu mubah (boleh). Jadi seorang boleh menikah dengan tujuan supaya mendapat kenikmatan dan kelezatan. Kalau seseorang menikah dengan niat untuk memperoleh keturunan dan mengikuti sunnah maka ia jadi sunat. Dan nikah itu jadi wajib bagi laki-laki yang takut terjatuh ke zina, begitu juga misalnya perempuan yang tidak aman kecuali dengan menikah maka ia wajib menikah.

Madzhab Hanbali berpendapat: nikah itu wajib bagi laki-laki atau perempuan yang takut terjerumus kepada zina, tidak ada perbedaan bagi orang yang mampu memberikan belanja atau pun tidak, semuanya wajib. Yang terpenting adalah kapan ia bisa menikah ia wajib melaksanakannya. Kalau masalah rezeki cukup tawakkal kepada Allah Swt dan jalani usaha yang halal.

Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
(1) persetujuan kedua belah pihak,
(2) mahar (mas kawin),
(3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum.
Sedangkan rukun perkawinan adalah :
(1) calon suami,
(2) calon isteri,
(3) wali,
(4) saksi dan
(5) ijab kabul.

Ringkasan Tata Cara Perkawinan Dalam Islam

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Termasuk tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Dan Islam mengajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan serta bertentangan dengan syariat Islam.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih. Dalam kesempatan kali ini redaksi berupaya menyajikannya secara singkat dan seperlunya. Adapun Tata Cara atau Runtutan Perkawinan Dalam Islam adalah sebagai berikut:


I. Khitbah (Peminangan)

Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).

II. Aqad Nikah

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

III. Walimah

Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (HR: [shahih] Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).

Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (HR: [shahih] Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al-Khudri).